Sabtu, 19 Februari 2011

Tiwul

     Tiwul itu nama panggilanku. Menurut cerita para tua, nama itu diberikan padaku sebagai peringatan, betapa waktu aku lahir, keadaan  ekonomi orang tuaku sangatlah memprihatinkan. Sebagai adat di desa, jika ada seorang bayi lahir, maka setiap malam pasti ada para tamu yang melek di rumah keluarga yang baru saja mendapatkan anggota baru. Makanan tiwul itulah yang disuguhkan pada para tamu yang melek setelah kelahiranku.
     Meski aku lahir sebagai anak ke tiga, dari empat orang yang semuanya perempuan, namun butuh perjuangan berat bagi ibuku waktu proses melahirkan aku. Entah karena sebab itu, atau sebab yang lain aku tak tau. Tapi sungguh, aku merasa sangat berbeda dari saudara saudaraku. Bukan karena tak ada kemiripan aku dengan mereka,tapi perlakuan ibuku padaku juga sangat berbeda.
     " Wah, Bu....kok putrinya yang ini beda sekali?? buat saya saja ya?" Boleh ditukar apa saja, saya bersedia".... Seringkali, tiap aku dan ibuku bertemu dengan orang yang tidak dikaruniai anak perempuan atau yang tidak dikaruniai anak, pasti diriku di goda, dicubit lembut pipiku. Di salah satu sisi, aku begitu menggemaskan bagi orang lain, tapi dimata keluargaku, kecuali ayahku, aku seperti anak pungut yang layak diperlakukan berbeda dangan saudaraku yang lain....
     Kuingat, sejak kelas 3 Sekolah Dasar,hampir tiap hari ada yang salah pada diriku di mata ibuku atau saudara saudaraku.... Aku sering didiamkan oleh ibuku, yang kadang aku tidak tau dimana letak kesalahanku.. Begitu juga dengan kakak-kakakku... Jika ke sekolah aku kelupaan membawa PR, salain menegurku, guruku juga menegur kakakku supaya membimbing aku, dan itu akan membuat mereka marah padaku. aku tak punya tempat mengadu... Entah kekuatan dari mana aku tidak tau... Tiap aku kena marah atau bersedih, aku langsung masuk kamar, berdoa dengan caraku sendiri mengadu pada Tuhan......
     Waktu terus bergulir, aku tumbuh jadi gadis yang minder, pemalu dan kurang percaya diri. Tapi aku cukup mandiri untuk melakukan sesuatu yang kuanggap benar. Sering sepulang sekolah, setelah menyelesaikan tugas sekolah, aku bermain ke rumah tetangga....mengamati, mencoba dan membantu pekerjaan yang mereka lakukan. Dari mereka aku banyak balajar, bagaimana memintal benang, ngeklos benang dengan kleting, serta menenun setagen. Mereka baik hati memberi kesempatanku belajar. Tak jarang bila mereka panen hasil ladang aku membantunya. Pada awalnya mereka keberatan, tapi setelah mendengar penjelasanku, mereka dengan senang hati mengajariku...
     Meski di rumah aku dipanggil Tiwul, tapi tetanggaku dan orang- orang yang tau siapa orang tuaku, mereka memanggilku Mas Roro. Walaupun aku masih kecil, tapi mereka berbicara padaku dengan bahasa Jawa yang halus. Saat itu aku tidak peduli dengan sebutan Mas Roro, dan perlakuan mereka yang sangat sopan padaku, tapi aku selalu menghormati mereka apalagi yang sudah sepuh, aku sangat menghormatinya. Siapapun itu.!!Bagiku, orang yang sepuh, doa dan restunya lebih baik. Dari mereka juga aku banyak belajar bagaimana menghadapi hidup ini. Aku sering mengamati mereka. Mereka sungguh bisa jadi panutan, baik tutur maupun tingkah lakunya.
     Sungguh berbeda dengan orang tua dan para sepuh jaman sekarang. Jika jaman dulu ada istilah Anak polah bapa kepradah, sekarang terbalik, bapa polah, anak kepradah.... Aku, Tiwul, bersyukur pada Tuhan yang setia menjagaku, aku tidak protes atau dendam pada masa kecilku yang pahit, tapi aku sungguh bersyukur memperoleh gemblengan yang membuat jiwaku lebih tangguh dan membuatku tegar dalam menghadapi gelombang kehidupan ini.
     Kini aku dan suamiku bahagia dengan dua anak angkat kami yang kudidik dengan adil dan penuh kasih sayang. Aku selalu memberikan apa yang dulu tak pernah ku peroleh dari orang tuaku. Kasih sayang dan perhatian yang tidak pilih kasih.
     Jika kita menghadapi kepahitan hidup, bersandarlah kepadaNYA, sabar menjalani ujianNYA, belajarlah pada kehidupan itu sendriri, karena sesuatu itu akan indah pada waktunya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar