Senin, 17 Maret 2014

BURUH GENDONG

     Untuk persiapan menyambut Tahun Baru yang lalu,  aku bersama beberapa teman sepakat berbelanja di sebuah pasar tradisional di sudut kota Semarang. Saat matahari masih memerah, bundar, kami sudah meluncur menembus kabut tipis yang tersibak angin, menuju passar. Sesampainya di pasar sudah lumayan ramai. Hiruk pikuk penjual dan pembeli memecahkan kesunyian pagi yang masih agak remang remang. Beberapa lampu masih menyala, menyapu wajah wajah yang kuyu karena kurang tidur demi mencari rupiah.

     Beriringan memasuki pasar...menelusuri lorong disela sela pedagang...sebentar berhenti untuk memilih dan menawar. Tak terasa tangan ini mulai kerepotan membawa belanjaan. Seorang wanita paro baya, dengan pakaian lusuh, menggendong bakul menawarkan jasanya pada kami. "Bu, saya bantuin bawa belanjaannya'...kupandang sejenak wanita itu, lalu kuanggukkan kepala. Dengan setia dia mengikuti kami belanja, bakul yang digendongnya tak lama sudah mulai penuh. Aku tak tega, belanjaan yang ditanganku urung aku masukkan ke bakulnya. Akhirnya aku dan temanku selesai belanja, dan kami beriringan keluar pasar menuju tempat dimana mobil kami parkir.

     Sambil memasukkan belanjaan ke mobil, aku bertanya pada wanita yang jadi buruh gendong itu. Diapun menceritakan kehidupannya.

Dia seorang istri dan ibu dari 2 anaknya yang sudah besar. Suaminya tinggal di desa pinggir kota Surakarta. Anaknya yang besar sudah berkeluarga dan bekerja di sebuah pabrik di daerah Tangerang. Suaminya bekerja sebagai penarik becak, tinggal dengan anak lelaki bungsunya yang masih sekolah di sebuah Sekolah Menengah, Anak lelakinya sering membantu ayahnya kerja serabutan.

     "lha kok tinggalnya misah-misah dan berjauhan gitu kenapa?" tanyaku ... Wanita itu menceritakan bahwa dia dan suaminya mempunyai cita cita, supaya anak bungsu mereka kelak mempunyai penghidupan yang lebih baik dari orang tuanya. Sempat terlontar pertanyaan dariku, kenapa dia tidak memilih jadi pembantu rumah tangga. Dia beralasan, jadi pembantu rumah tangga itu kalau dapat majikan yang pengertian ya enak, tapi kalau tidak, malah jadi sengsara. Dia memilih menjadi buruh gendong, dia merasa lebih merdeka, bisa kapan saja pulang menengok keluarganya di kampung. Dia memilih kota Semarang sebagai tempat mengadu nasib, setelah dia mencoba di beberapa kota lainnya.

    Waktu aku tanya berapa rata rata penghasilannya tiap hari. :"ya kalau pas rame, saya bisa dapat uang sampai 25 ribu keatas...tapi kalau sepi ya paling lima  sampai sepuluh ribu"jawabnya.

Pendapatannya itu digunakan sebagian untuk makan, sebagian untuk bayar sewa, sebagian dikumpulkan untuk dibawa saat pulang kampung. Di Semarang dia hanya menyewa tempat untuk tidur saja, Tempat itu mirip sebuah barak, sebuah ruangan lumayan lebar, tanpa sekat sekat, digunakan untuk tidur beramai ramai,Orang orang yang menyewa ruangan itu dikenai tarip dua ribu rupiah perorang, permalam. Hidup mereka simple. mereka hanya butuh tempat berlindung dari hujan dan dinginnya malam untuk sekedar memejamkan mata dan melepas penat setelah sehari bekerja. Di tempat itu tak tersedia fasilita apapun. Hanya tikar saja. Mereka tidur berbantal tas pakaian masing masing. Untuk mck pun, mereka menggunakan fasilitas umum di pasar atau tempat umum lainnya.

    Wanita itu sudah menjalani hari harinya di kota Semarang sebagai buruh gendong selama 4 tahun. Di saat ada kepentingan keluarga, baru dia pulang ke desa. Waktu aku bertanya, bagaimana situasi rumah tangganya, dia menjawab,bahwa rumah tangganya baik baik saja. Suami dan dirinya mempunyai kesadaran untuk saling setia, dan bahwa apa yang dilakukan adalah mencari uang dengan cara yang benar, demi masa depan anak mereka. Dan si anakpun tidak menyia nyiakan perjuangan orang tuanya. Anak lelakinya , tempat menaruh harapan, mempunyai prestasi yang baik di Sekolahnya.

     Satu pembelajaran yang tak terduga aku dapatkan dari seorang buruh gendong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar